YANG TERASING-09


YANG TERASING

JILID 9

kembali | lanjut

YT-09WAJAH Pikatan yang merah menjadi semakin merah. Katanya dengan suara yang bergetar, “Wiyatsih. Kau sudah berani melawan aku he? Apakah karena kau belajar ilmu kanuragan dari gadis Pucang Tunggal itu, kau merasa bahwa kau harus berani menentang saudara tuamu? Selamanya kau tidak pernah berani memandang mataku seperti sekarang ini, justru kini tampaknya kau malahan menentang”

“Memang kakang. Aku selamanya tidak pernah berani menentang pandangan matamu. Tetapi selamanya kau pun tidak pernah mengucapkan kata-kata yang paling menusuk hati seperti yang baru saja kau katakan. Jika kau sudah tidak mempercayai aku lagi dalam ketabahan batin, apapun yang akan aku lakukan tidak akan kau anggap baik dan menguntungkan. Kaulah yang pertama kali merencanakan membuat bendungan justru sebelum kau meninggalkan Sambi Sari. Kemudian kau kembali lagi, tetapi apa yang ada didalam dadamu ternyata telah padam sama sekali. Rakyat Sambi Sari tidak dapat mengharap apa-apa lagi darimu. Sehingga karena itu, aku, adikmu merasa wajib untuk meneruskan rencana itu. Apakah aku seorang laki-laki atau seorang perempuan itu tidak penting bagi bendungan itu. Bagi rakyat Sambi Sari lahirnya sebuah bendungan lah yang diharapkannya

“Kau sangka bahwa kau akan berhasil membuat bendungan itu?”

“Kenapa tidak?”

“Aku tidak percaya. Tidak ada orang yang dapat membuat bendungan itu selain aku. Aku sudah mengenal Kali Kuning sebaik-baiknya, bahkan seakan-akan aku tahu benar jumlah batu yang berserakan”

“Tetapi kau tidak berbuat apa-apa. Apakah artinya pengenalanmu itu, jika kau sama sekali berdiam diri”

“Aku akan membuatnya”

“Jika demikian bangunlah. Keluarlah dari bilikmu dan datanglah ke tempat anak-anak muda itu, berkumpul membuat brunjung bambu. Beritahukan kepada mereka apa yang harus mereka lakukan” nafas Wiyatsih tiba-tiba menjadi terengah-engah, “jika demikian, aku akan bersedia mengundurkan diri. Aku akan menjadi seorang gadis Sambi Sari seperti gadis-gadis yang lain. Berada di rumah, memasak, hanya kadang-kadang saja pergi ke sungai. Mengintip laki-laki lewat di jalan sebelah rumah dan mempergunakan kesempatan bersih desa sehingga kadang-kadang justru menimbulkan akibat seperti gadis yang membunuh diri itu”

“Itu adalah urusanku. Apakah aku akan keluar dan bilik itu atau tidak kau tidak usah ikut campur”

“Jika demikian, kau pun jangan ikut campur jika aku berada di tengah-tengah laki-laki seluruh Kademangan Sambi Sari karena aku mempunyai pegangan yang teguh dan aku bukan gadis yang tidak mampu menjaga diriku sendiri”

“Gila” Pikatan menggeram, “kau benar-benar menjadi keras kepala. Sekali-sekali kau memang harus dihajar. Sampai sebesar kau sekarang, aku memang belum pernah menghajar kau. Dan itu agaknya yang membuat kau berani menentang aku”

Tetapi Wiyatsih sama sekali tidak lari. Bahkan ia pun kemudian meloncat berdiri. Disingsingkannya kainnya karena ia tidak siap menghadapi keadaan itu dengan pakaian laki-lakinya, katanya, “Baiklah kakang, kalau sekarang kau merasa perlu menghajar aku, lakukanlah. Tetapi aku pun sudah cukup besar untuk menilai keadaan. Sudah aku katakan, tidak seorang laki-laki pun yang dapat mengalahkan aku disini, selain kau. Tetapi jika kau berlaku kasar, aku pun akan berlaku kasar juga apapun yang akan kau lakukan atasku. Mungkin kau akan membunuhku sama sekali. Aku tidak peduli”

“Diam, diam” Pikatan berteriak sambil melangkah maju.

Namun dalam pada itu, ibunyalah yang kemudian memeluk Wiyatsih sambil menangis, “Kenapa kalian bertengkar, Kenapa?. Sejak kecil kalian tidak pernah bertengkar dan apalagi berkelahi. Tetapi sekarang, ketika kalian sudah menginjak dewasa, justru kalian mulai bertengkar dan bahkan berkelahi. Apakah ini sudah menjadi takdir bagiku, bahwa di hari-hari tua aku harus menghadapi cobaan yang sangat pahit? Wiyatsih, pergilah. Marilah, tinggalkanlah kakakmu yang sedang marah. Jika kau juga marah, maka akibatnya akulah yang akan mati membeku diantara kalian”

“Tetapi, tetapi…..” suara Wiyatsih menjadi sendat. Titik air mata ibunya telah memancing perasaannya sebagai seorang gadis. Sehingga betapapun juga ia menahan, namun air matanya mulai meleleh juga dari pelupuknya.

Wiyatsih tidak menentang lagi ketika ibunya membimbingnya masuk kedalam biliknya. Sekali ia berpaling kepada Pikatan yang masih berdiri membeku ditempatnya.

“Masuklah” berkata ibunya di sela-sela sedunya. Wiyatsih kemudian masuk kedalam biliknya. Ia pun langsung membanting dirinya dipembaringannya. Tangisnya tiba-tiba saja meledak tanpa dapat ditahannya lagi.

Ibunya memandang anak gadisnya itu sejenak sambil mengusap air matanya sendiri. Namun kemudian ia kembali kepada anak laki-lakinya yang seakan-akan menjadi patung yang mati dimuka pintu

“Pikatan” berkata ibunya, “aku juga tidak sependapat dengan bendungan itu. Tetapi aku tidak ingin menyakiti hati Wiyatsih seperti itu. Jika kau memang tidak setuju dengan bendungan itu. pakailah cara yang lain, jangan terlampau kasar. Hati seorang gadis lain dari hati seorang laki-laki. Bagaimanapun juga, hati seorang gadis terlampau lunak untuk menampung luka”

Pikatan masih tetap berdiri membisu.

“Pikatan” berkata ibunya pula, “aku juga tidak sependapat, bahwa Wiyatsih bekerja hampir setiap hari untuk kepentingan bendungan itu. Bahkan dibawah hujan yang lebat sekalipun ia pergi juga menengok anak-anak yang sedang membuat berunjung-berunjung itu. Dan aku sedang berusaha dengan hati-hati untuk mengurangi hasrat yang sedang meluap-luap di hatinya. Dan aku memang bermaksud untuk mengurungkan pembuatan bendungan itu”

“Tidak. itu tidak boleh jadi” tiba-tiba Pikatan menjawab, “di daerah sekitar Sambirata ini memang harus ada bendungan. Jika tidak, maka rakyat daerah ini akan menjadi semakin kelaparan. Satu-satunya jalan untuk membuat mereka bernafas adalah bendungan”

Nyai Sudati terkejut bukan buatan mendengar jawaban itu. Ia sama sekali tidak mengerti jalan pikiran Pikatan. Dan ia harus mendengar anaknya berkata pula, “Hanya orang-orang yang ingin meneguk keuntungan dari penderitaan sesama sajalah yang tidak sependapat akan adanya bendungan itu”

“Pikatan” ibunya memotong, “aku tidak mengerti. Bagaimanakah sebenarnya pendirianmu tentang bendungan itu”

“Akulah yang akan membuat bendungan itu. Bukan orang lain”

“O” Nyai Sudati merenungi anaknya sejenak, namun kemudian mengangguk-anggukan kepalanya, “sekarang aku tahu. Bahwa kita sebenarnya mempunyai persamaan. Kau dan aku, anakku. Dan itu tidak mustahil, karena kau adalah anak yang aku lahirkan” ibunya berhenti sejenak. Tatapan matanya menjadi aneh, seakan-akan terpancar sesuatu yang belum pernah dilihat oleh Pikatan.

“Pikatan” berkata Nyai Sudati selanjutnya, “kita adalah orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri. Aku mementingkan diriku sendiri, dan kau juga orang yang mementingkan dirimu sendiri”

Pikatan memandang ibunya dengan tatapan mata keheran-heranan.

“Bedanya, bahwa aku mementingkan diriku sendiri dengan menimbun harta kekayaan, karena aku senang akan harta benda dan kekayaan. Sedangkan kau mementingkan dirimu sendiri untuk memiliki nama sebagai seorang pahlawan. Aku ingin menimbun harta benda sebanyak-banyaknya, sebenarnya bukan dalam arti kepentingan pribadiku sendiri meskipun masih didalam lingkup kepentingan diri sendiri, karena aku ingin menyimpan harta benda untuk peninggalan anak-anakku kelak. Sedang kau berkeberatan ada orang lain, membangun bendungan itu, karena kau ingin bahwa Pikatan lah satu-satunya orang yang mampu menolong kemiskinan di daerah Sambi Sari ini. Bukan orang lain dan sama sekali bukan Wiyatsih. Tetapi Pikatan, Pikatan”

“Ibu” Pikatan membentak keras-keras. Tetapi wajah ibunya justru menjadi lunak. Sambil mendekati anak laki-lakinya yang sedang terbakar hatinya itu ia berkata, “Sudahlah Pikatan. Sebaiknya kau tenangkan saja hatimu.”

Pikatan masih akan menjawab. Namun mulutnya tiba-tiba terbungkam ketika ibunya meraba kedua pundaknya sambil berkata, “Marilah kita melihat kepada diri sendiri. Kau dan aku. Kita masing-masing adalah orang-orang yang mementingkan diri sendiri. Aku menghendaki bendungan itu urung, karena aku masih merindukan menghitung potongan-potongan lidi itu, sedang kau berniat untuk membangun bendungan itu sendiri.” ibunya berhenti sejenak, “ternyata persoalan ini merupakan masalah baru didalam hatiku. Seakan-akan aku telah dipaksa untuk merenungi persoalan yang sebenarnya kita hadapi. Pikatan, marilah kita mengendapkan perasaan kita masing-masing. Marilah kita berbuat sesuai dengan kemampuan kita sendiri tanpa mengganggu orang lain. Aku juga tidak akan mengganggu Wiyatsih lagi, dan kau pun hendaknya tidak. Aku tidak tahu, akibat apa yang akan terjadi dengan pekerjaanku kelak, jika bendungan itu benar-benar terwujud”

Pikatan sama sekali tidak menjawab. Sentuhan tangan ibunya membuat hatinya mencair. Bahkan ketika ibunya memegang kedua pipinya seperti ketika masih kanak-kanak, terasa tenggorokannya menjadi panas.

“Beristirahatlah Pikatan. Kita harus menolong keluarga ini. Keluarga kecil yang hampir terpecah belah tidak keruan karena kita tidak pernah sempat duduk bersama, berbicara dan berbincang dengan hati terbuka bersama-sama. Aku harap bahwa kita akan mendapatkan kesempatan serupa itu kelak, besok lusa atau kapan pun. Kau mengerti?”

Pikatan menganggukkan kepalanya seperti kanak-kanak disuruh tidur di siang hari. Perlahan-lahan ia melangkah meninggalkan ibunya masuk kedalam biliknya. Biliknya yang seakan-akan telah menjadi dunianya, sehingga dunia bagi Pikatan adalah terlalu sempit adanya.

Ketika Pikatan sudah menutup pintu biliknya, maka Nyai Sudati pun masuk kedalam bilik anak gadisnya. Sambil membelai rambutnya Nyai Sudati berbisik, “diamlah Wiyatsih. Tidak ada lagi persoalan diantara kita”

Wiyatsih masih tetap menangis sambil menelungkupkan wajahnya.

“Wiyatsih” berkata ibunya, “bagaimanapun juga aku menentang lahirnya sebuah bendungan, tetapi aku tidak akan menghalangimu lagi. Aku tidak tahu, apakah yang kelak akan terjadi atasku, tetapi aku sudah berketetapan, bahwa sebaiknya aku membiarkan kau melakukan yang menurut keyakinanmu cukup baik”

Tiba-tiba Wiyatsih mengangkat wajahnya. Dipandanginya ibunya sejenak seakan-akan ia tidak percaya akan pendengarannya. Namun ketika ibunya mengangguk, maka diciumnya pipi ibunya seperti ketika ia masih kecil dahulu.

Nyai Sudati pun kemudian memeluk kepala anak gadisnya yang masih menangis sambil menyandarkan kepala itu di dada ibunya.

“Wiyatsih” berkata Nyai Sudati, “lakukanlah apa yang ingin kau lakukan dan telah kau yakini. Sementara belum terjadi perubahan apapun akibat dari bendungan itu, aku masih akan tetap bekerja seperti yang dapat aku kerjakan. Mudah-mudahan kau dapat mengerti juga, karena aku tidak dapat bekerja yang-lain dari pada itu. Mungkin kelak aku harus menyesuaikan diri. Aku harus turun ke sawah dengan menyingsingkan kain masuk kedalam lumpur seperti orang-orang lain. Tetapi jika itu yang harus aku lakukan, maka aku akan mencobanya”

“Tidak ibu, tidak, “ suara Wiyatsih menghentak, “bukan maksudku membuat ibu menjadi begitu. Membuat ibu harus bekerja terlalu berat buat memberi makan aku dan kakang Pikatan. Tidak, tetapi aku dapat melakukan. Pembantu-pembantu ibu di rumah ini dapat mengerjakan sawah kita yang sangat luas ini, tetapi yang sebagian daripadanya adalah tanah yang kering di musim kemarau. Jika bendungan itu siap, maka tanah kita juga akan mendapat air itu. Penghasilan kita pun akan bertambah”

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sudah terbayang bahwa seorang demi seorang pelayan-pelayan dirumahnya akan pergi meninggalkannya, karena tanah mereka sendiri akan menjadi subur dan mereka akan mendapat penghasilan yang cukup dari tanah mereka itu.

Namun demikian Nyai Sudati tidak mengucapkannya. Ia telah mencoba mengendapkan perasaannya. Ia mencoba untuk menghadapi apa saja yang akan terjadi, dan mencoba untuk menyesuaikan diri. Ia merasa bahwa hidupnya terutama adalah bagi anak-anaknya. Buat apa sebenarnya ia bekerja keras melakukan pekerjaan yang dapat dianggapnya menguntungkan, tetapi menjauhkan jarak dari anak-anaknya? Dan bahkan akan memisahkannya sama sekali dan membuat keluarganya terpecah belah?

Sejenak Nyai Sudati tidak menyahut. Namun karena itu maka Wiyatsih merasa bahwa masih ada keragu-raguan didalam hati ibunya, sehingga karena itu, sambil duduk tegak di pembaringannya ia berkata, “Ibu, selagi aku masih kuat bekerja. biarlah aku yang bekerja. Kita tidak memerlukan penghasilan yang berlebih-lebihan. Kita hanya memerlukan penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan dan sedikit simpanan buat hari depan. Dan itu akan kita dapatkan dari hasil sawah kita jika kita berhati hati”

“Ya, ya Wiyatsih” jawab ibunya sekedar untuk menenangkan hati anaknya.

Dan ternyata Wiyatsih memang tidak berbicara lagi. ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Yang terbayang kemudian adalah suatu kerja yang besar yang akan menghisap banyak sekali tenaga anak-anak muda Sambi Sari. Bahkan jika mungkin setiap orang dapat membantu melakukan kerja itu, meskipun sebagian dari orang-orang tua itu bergantian setiap kali. Tetapi anak-anak muda seluruh Kademangan harus mau turun, setidak-tidaknya sebagian besar, karena air yang akan naik dari Kali Kuning didekat Alas Sambirata itu akan mengairi sebagian besar dari sawah-sawah yang kering di sekitar Kademangan.

“Bendungan itu sendiri sudah merupakan kerja yang besar” berkata Wiyatsih didalam hatinya, “tetapi kemudian saluran air yang akan membelah tanah kering itu pun merupakan pekerjaan yang berat dan lama. Parit-parit yang ada, yang seakan-akan hanya sekedar menampung dan mengalirkan air hujan yang meluap itu jauh dari mencukupi. Anak-anak muda harus membuat jalur-jalur air yang baru”

Wiyatsih terkejut ketika tiba-tiba ibunya menepuk pundaknya sambil berkata, “Sudahlah, tidurlah. Kau terlalu lelah. Jangan kau hiraukan kakakmu dan jangan membantahnya lain kali, agar kau tidak harus bertengkar dengan saudara tuamu. Kakakmu itu sebenarnya sangat sayang kepadamu, tetapi ia sedang dicengkam oleh perasaan kecewa yang hampir tidak tertanggungkan”

Wiyatsih mengangguk kecil.

“Baiklah. Aku akan pergi ke halaman belakang. Padi yang dijemur itu harus disimpan. Langit tampaknya menjadi semakin gelap oleh mendung yang tergantung semakin tebal”

Sekali lagi Wiyatsih mengangguk.

Sepeninggal ibunya, Wiyatsih tidak lagi membaringkan dirinya, tetapi ia justru bangkit dan membenahi pakaiannya. Disanggulnya rambutnya yang terurai dan dirapatkannya baju dan pakaiannya.

Setelah mengusap matanya sehingga kering, maka Wiyatsih pun segera keluar dari biliknya dan pergi kebelakang pula. Seperti biasanya ia selalu membantu bekerja apa saja yang dikerjakan orang di rumahnya. Dari membersihkan halaman, menjemur dan menyimpan padi, sampai juga mengambil air. Baru kemudian ia pergi membantu kawan-kawannya yang bekerja membuat berunjung-berunjung bambu.

Ketika ia hendak pergi juga ke tempat kawan-kawannya membuat berunjung-berunjung bambu, maka terngianglah kata-kata kakaknya tentang dirinya. Tentang seorang gadis yang berada diantara anak-anak muda yang sekian banyaknya.

Terasa wajahnya menjadi panas. Tiba-tiba saja ia menyadari bahwa memang agak janggal, bahwa ia sebagai seorang gadis sendiri saja berada di tengah-tengah sekian banyak laki-laki yang bekerja.

“Itu tidak pantas. Itu tidak pantas” seakan-akan ia mendengar kakaknya berteriak.

Wiyatsih menundukkan kepalanya. Ia kini merasa bahwa bagi orang lain, apa yang dilakukan itu memang tidak pantas, tetapi dengan demikian, bukan berarti bahwa ia harus berhenti. Ia harus mendapatkan akal, bahwa ia tidak boleh sendiri.

Akhirnya Wiyatsih pun menemukan juga. Dimintanya anak-anak muda yang mempunyai saudara perempuan dan yang tidak berkeberatan, agar diajaknya serta meskipun tidak setiap hari. Mereka diminta membantu menyiapkan minum dan kepentingan-kepentingan kecil lainnya. Misalnya menyediakan tali-tali ijuk, membuat patok-patok kecil dan sebagainya.
Semula ajakan itu hampir tidak mendapat perhatian. Gadis-gadis Sambi Sari masih saja dibayangi ketakutan akan lampor yang lebih suka mengambil gadis-gadis daripada anak-anak muda. Tetapi Wiyatsih kemudian berpesan, “Jika ada lampor yang datang, tentu akulah yang pertama-tama akan diambilnya”

Kemudian dari hari ke hari ada juga satu dua orang gadis ikut serta dengan saudara laki-laki mereka membantu pekerjaan itu. Meskipun gadis-gadis itu tidak datang setiap kali, hanya kadang-kadang saja bila ia sempat. Namun hampir setiap hari jadinya Wiyatsih mempunyai beberapa orang kawan gadis-gadis-yang lain meskipun sering berganti orang”

Namun dengan demikian Wiyatsih sendiri merasa bahwa hal itu sudah mengurangi tanggapan yang kurang baik atasnya dari orang-orang yang terutama tidak menyukainya dan menyukai pekerjaan itu”

Demikianlah dari hari ke hari pekerjaan itu berjalan terus meskipun lambat, karena baik anak-anak muda maupun gadis-gadis yang membantunya tidak bekerja khusus untuk itu. Mereka hanya datang ketika mereka sempat karena pekerjaan yang lain harus juga dilakukannya. Apalagi musim kemarau masih akan datang beberapa bulan lagi.

Ketika sungai mulai banjir, gadis-gadis merasa ngeri juga untuk turun ke sungai. Mereka kadang-kadang masih juga dihinggapi rasa takut, bahwa lampor akan memilihnya menjadi korban kemarahannya karena ada usaha manusia untuk membuat bendungan lagi di Kali Kuning.

“Jangan pergi ke sungai jika sedang banjir” Wiyatsih memang selalu memperingatkan mereka. Bukan menakut-nakuti, tetapi ia harus mencegah timbulnya korban apapun sebabnya. Jika ada seorang gadis saja yang kebetulan tergelincir kedalam arus sungai yang sedang banjir, maka pekerjaan itu pasti akan gagal, karena setiap mulut pasti akan menyebut bahwa gadis itu adalah korban lampor yang pertama setelah hampir sepuluh tahun, justru karena ada usaha membuat bendungan itu.

Dalam pada itu, ternyata tidak timbul perubahan apapun pada diri Pikatan setelah ia bertengkar dengan Wiyatsih, Ia masih tetap mengasingkan dirinya didalam biliknya dan masih juga setiap malam dengan diam-diam meninggalkan rumahnya untuk mematangkan ilmunya. Tetapi kini ia sudah tidak peduli lagi apakah Wiyatsih mengetahui atau tidak, bahwa ia berusaha terus untuk maju didalam olah kanuragan. Ia pun tidak peduli juga apakah Puranti mengetahui dan mengikuti perkembangannya atau tidak. Namun ia bertekad bahwa pada suatu saat, ia akan membuktikan bahwa ia adalah seorang laki-laki yang tidak mau dikalahkan oleh perempuan yang manapun juga di bidang apapun juga.

Namun sementara itu, Puranti pun telah menempa dirinya hampir tidak ada henti-hentinya. Bahkan kemudian siang dan malam ditempat yang jauh dari lingkungan manusia. Sehingga dengan demikian kedatangannya kepada Wiyatsih dan ibu angkatnya menjadi semakin jarang.

“Wiyatsih” berkata Puranti pada suatu saat, “maafkan kalau aku jarang sekali dapat menjumpaimu sekarang. Aku harap usahamu melatih diri tidak mengendor. Aku kini sedang berada dalam taraf terakhir dari puncak latihanku untuk menguasai inti dari ilmu ayahku sekaligus guruku seperti yang pernah diajarkannya kepadaku. Aku tidak pernah menduga, bahwa aku berusaha untuk menguasainya secepat ini, dengan mengorban-kan sebagian terbesar dari masa mudaku. Masa yang paling gembira dari perjalanan hidup seseorang. Tetapi aku tidak akan menyesal. Aku memang sudah dengan sengaja melakukannya. Mudah-mudahan kau mendapatkan kedua-duanya, Wiyatsih. Ilmu yang kau cari, tetapi juga kegembiraan masa mudamu. Jika kau berhasil dengan bendungan itu, kau akan mendapatkan suatu kepuasan yang mendalam sehingga kau akan mendapatkan kegembiraan yang mendalam pula dimasa muda, selain hasil itu akan sangat bermanfaat bagi kehidupan di sekitarmu. Disamping itu meskipun tidak terlampau cepat, ilmumu maju terus, sehingga pada suatu saat, kau pun akan mencapai puncak seperti yang akan aku dapatkan itu. Mungkin aku berhasil menguasainya dalam waktu yang lebih singkat. Tetapi aku telah mengorbankan segi kehidupanku yang lain. Aku tidak dapat segembira kau, bermain-main dengan kawan-kawan, bekerja di sawah dan membuat sesuatu bagi sesama. Namun aku tetap mengharap bahwa yang aku dapatkan ini pun kelak akan bermanfaat pula bagi sesama”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya, meskipun sebenarnya ia agak kecewa.

Puranti yang agaknya dapat mengerti itupun berkata, “Aku tidak akan terlalu lama Wiyatsih. Aku berharap bahwa sebelum musim kemarau datang, aku sudah akan selesai. Jadi aku akan dapat melihat, bagaimana kau membuat bendungan itu bersama anak-anak muda Sambi Sari”

Sekali lagi Wiyatsih mengangguk. Kemudian jawabnya perlahan-lahan, “Tetapi kau jangan pulang dahulu Puranti. Jika kau pulang ke padepokanmu, aku akan menyusulmu meskipun aku belum tahu jalannya”

“Tidak Wiyatsih. Aku tidak akan pulang dahulu” Puranti menarik nafas dalam-dalam, lalu, “aku masih mempunyai tugas disini”

“Tetapi kakang Pikatan agaknya tidak berubah. Dan kau tidak lagi mengamati kemajuannya, tetapi kau justru berlatih sendiri”

“Sekedar mengisi waktu Wiyatsih” namun dada Puranti merasa bergejolak. Ia tidak akan dapat mengatakan alasan yang sebenarnya, kenapa ia justru membanting diri berlatih sampai ke puncak ilmunya.

Terasa sesuatu menggelepar di hatinya. Sebuah pertanyaan, “Apakah aku tidak ada bedanya dengan Pikatan yang berjiwa kerdil, yang takut melihat kelebihan orang lain atas diri sendiri?”
Tetapi Puranti menggigit bibirnya untuk menghentakkan pertanyaan itu, dan dengan tegas menjawab didalam hati, “Aku sejak dahulu lebih daripadanya. Aku adalah anak Kiai Pucang Tunggal, sedang Pikatan, meskipun seorang laki-laki, ia adalah hanya sekedar muridnya. Tidak lebih”

Demikianlah untuk beberapa lamanya, Wiyatsih dibiarkan berlatih seorang diri. Tetapi diluar dugaannya, ketika pada suatu senja yang sudah mulai gelap ia berlatih di kebun belakang tanpa ada seorang pun yang menungguinya, tiba-tiba saja sebuah bayangan telah duduk didalam kegelapan di sudut halamannya. Hampir saja Wiyatsih berbuat sesuatu karena terkejut. Gerak naluriahnya telah melontarkannya selangkah kesamping dan mempersiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan.

Namun tiba-tiba urat-uratnya mengendor ketika ia melihat wajah orang itu meskipun dibawah bayangan kegelapan.

“Kiai? Kiai hadir disini?”

“Ya Wiyatsih”

“Kiai datang seorang diri?”

“Ya, aku datang seorang diri” jawaban orang itu terdengar aneh, “dan aku pun sebenarnya. ingin bertanya kepadamu, “kenapa kau berlatih sendiri dan di senja hari pula?”

“Aku sekarang berlatih di sembarang waktu. Kenapa Kiai mengetahui bahwa aku berlatih dilepas senja?”

“Aku tidak sengaja. Aku hanya ingin duduk disini menunggu tengah malam daripada aku berada di Atas Sambirata. Ketika padukuhan ini menjadi sepi dan gelap, aku mulai masuk dan langsung berada di kebun ini. Aku terkejut melihat kau berlatih dan seorang diri pula”

“Aku sekarang berlatih sendiri Kiai”

“He” jawaban Wiyatsih telah mengejutkan orang tua itu. Namun dengan tergesa-gesa Wiyatsih berkata, “Maksudku, Puranti sedang berhalangan untuk beberapa lamanya.

“Kenapa?”

Maka tanpa ada yang disembunyikan, diceriterakannya semua keterangan yang didapatnya dari Puranti, kenapa untuk beberapa lamanya ia tidak datang kepadukuhan ini.

Kiai Pucang Tunggal yang mendengarkan keterangan Wiyatsih itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh anak gadisnya sekarang.

“Jadi menurut keterangan Puranti, kini ia sedang mengisi waktunya sambil mengawasi perkembangan Pikatan?”

“Ya Kiai”

Kiai Pucang Tunggal merenung sejenak, lalu, “Apakah kau tahu, dimana Puranti berlatih?”

“Aku tidak tahu Kiai. Puranti tidak mengatakannya”

“Pikatan?”

“Menurut Puranti, Kakang Pikatan sering berlatih di jurang yang terjal dan menyendiri di tepi Kali Kuning”

“Aku dapat menelusurinya”

“Dan Puranti sering datang ke tempat itu juga untuk melihat kakang Pikatan berlatih”

“Ya, ya. Aku tahu. Maksudmu, bukankah aku dapat menunggu ditempat itu jika sudah aku ketemukan, bahwa pada suatu malam Puranti akan datang pula melihat latihan itu”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya.

“Baiklah. Aku akan mulai mencari mereka malam nanti. Sekarang aku ingin melihat kau berlatih”

“Ah” desah Wiyatsih.

“Berlatihlah. Nanti malam aku akan mengikuti Pikatan dari kejauhan jika ia keluar. Mudah-mudahan aku akan menemukan Puranti dengan segera. Jika tidak, aku akan mencarinya ke rumah janda di Cangkring. Sekali-sekali ia pasti datang pula ke rumah itu”

“Ya, ya” Wiyatsih masih mengangguk-angguk.

“Nah, agar aku tidak mengganggu, mulailah. Aku akan melihat kemajuanmu. Jika kau masih juga tidak maju, bukan kaulah yang bersalah, tetapi tentu Puranti, karena kau mempunyai kemampuan yang cukup baik untuk mengembangkan ilmumu”

Wiyatsih menjadi tersipu-sipu. Sebenarnya ia lebih senang berlatih tidak hanya seorang diri. Tetapi karena tidak ada orang yang dapat mengimbanginya, maka ia terpaksa melakukannya sendiri.

Sejenak kemudian, maka mulailah ia berloncat-loncatan semakin lama menjadi semakin cepat meskipun baru sekedar melemaskan urat-urat di kakinya sebelum sampai pada latihan kaki yang sebenarnya.

Kiai Pucang Tunggal memperhatikan gerak dan sikap Wiyatsih sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun Wiyatsih belum sampai pada latihan yang sebenarnya, namun kelincahan dan kecepatannya bergerak telah memberikan kesan kepada orang tua yang berpenglihatan tajam itu, bahwa Wiyatsih memang sudah maju jauh sekali, melampaui dugaannya.

Demikianlah Wiyatsih pun kemudian mulai menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Ia mulai dengan unsur-unsur gerak dari ilmunya, melenting, berputar, meloncat menyerang dap sikap menghindar yang cermat, Lambat laun, bukan saja kaki-kakinya tetapi juga tangannya dan kemudian seluruh tubuhnya.

Kiai Pucang Tunggal masih mengangguk-anggukan kepalanya. Wiyatsih baru mempertunjukkan kecepatannya bergerak. Belum kekuatan tangan dan kakinya, apalagi tenaga cadangannya.

Seperti yang biasa dilakukan maka latihan yang dilakukan oleh Wiyatsih itu pun dilakukannya dengan sasaran-sasaran yang ditentukannya sendiri. Ujung dedaunan dan ranting-ranting kecil. Sambil berloncatan tangannya menyambar selembar dua lembar daun yang telah ditentukannya sendiri, kemudian mematahkan ranting kecil sambil melenting dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata telanjang, apalagi didalam keremangan malam.

Tetapi yang kali ini memperhatikan adalah Kiai Pucang Tunggal, sehingga ia langsung dapat melihat bahwa kecepatan bergerak Wiyatsih memang sudah memadai, Jika Wiyatsih mampu membangunkan kekuatan jasmaniahnya serta tenaga cadangan yang ada didalam dirinya, maka Wiyatsih akan segera mampu mencapai tataran yang tinggi dari ilmunya.

“Aku belum melihat Pikatan sekarang” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati” tetapi Pikatan yang dahulu tidak berselisih jauh dari Wiyatsih. Kesungguhan anak ini memang luar biasa, meskipun tampak bahwa anak ini masih belum cukup berpengalaman

Tetapi akhirnya Kiai Pucang Tunggal tersenyum sambil berdesis, “Luar biasa. Kemajuanmu pesat sekali Wiyatsih”

Wiyatsih yang masih meluncur diantara pepohonan, melenting menangkap ujung dedaunan dan menyentuh cabang pepohonan yang cukup tinggi, mendengar juga pujian itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berhenti. Dengan latihan yang baik, maka Wiyatsih mampu menguasai pernafasannya, sehingga ia masih dapat mengaturnya dengan mapan.

“Kiai memuji” berkata Wiyatsih sambil tersipu-sipu.

“Kecepatanmu bergerak cukup tinggi. Aku masih ingin melihat kemampuanmu melepaskan kekuatan. Lain kali aku akan mendapat kesempatan”

“Ah” desah Wiyatsih.

“Disini kau tidak mempunyai sasaran yang cukup baik yang tidak mengejutkan tetangga-tetanggamu. Karena itu, mungkin lain kali aku akan dapat mengikuti kau berlatih di pinggir sungai atau di Alas Sambirata”

“Tetapi kemajuanku sangat lambat” berkata Wiyatsih.

Kiai Pucang Tunggal tersenyum. Katanya, “Agaknya selama ini kau benar-benar memeras tenaga. Kau tampak agak kurus, meskipun dengan demikian kau menjadi semakin lincah”

Wiyatsih menundukkan kepalanya.

“Jangan memaksa diri. Ada batas kemampuan pada seseorang. Berlatihlah dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan kau lampaui batas kemampuanmu agar latihan-latihan yang kau lakukan justru tidak mengganggu perkembangan tubuhmu. Menilik umurmu, maka kau masih harus berkembang, jasmaniah dan rohaniah”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya.

“Sekarang terserah kepadamu. Apa kau akan terus atau kau akan beristirahat. Aku akan tetap disini menunggu Pikatan keluar dari butulan dan mengikutinya. Mudah-mudahan aku dapat segera bertemu dengan Puranti”

“Apakah Kiai tidak singgah saja dahulu?” Wiyatsih mempersilahkan.

“Ah, jika demikian aku akan gagal. Pikatan tidak boleh mengetahui bahwa aku ada disini”

Wiyatsih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Aku akan mengakhiri latihan ini Kiai”

“Silahkan. Kau tentu sudah lelah. Aku ingin mendapat kesempatan melihat kau berlatih dengan melepaskan kekuatan jasmaniahmu”

Wiyatsih tidak menjawab.

“Memang tidak ada sasaran yang baik disini” berkata Kiai Pucang Tunggal, namun kemudian, “Wiyatsih, jika kau tidak berkeberatan, aku mempunyai sasaran yang baik untuk sekedar menilai kekuatanmu”

“Apa Kiai?”

Kiai Pucang Tunggal tertawa. Tetapi ia berkata, “Lain kali saja. Penilaian yang demikian biasanya tidak atau kurang tepat, karena kau akan segan melepaskan seluruh kekuatanmu”

“O” Wiyatsih mengerti. Sasaran itu pasti Kiai Pucang Tunggal sendiri. Untunglah bahwa Kiai Pucang Tunggal sendiri tidak membenarkan cara itu, sehingga ia tidak perlu mengalami kesulitan perasaan.

“Nah, beristirahatlah. Jangan ada orang lain yang mengetahui bahwa aku ada disini”

“Baik Kiai”

Wiyatsih pun kemudian membenahi dirinya dan meninggalkan tempat itu masuk kembali kedalam rumahnya. Di depan pendapa ia melihat dua orang penjaga rumahnya duduk bersandar tiang. Untuk beberapa saat kedua orang itu merasa aman dan tidak perlu banyak bekerja. Setelah Pikatan benar-benar bertindak atas para penjahat, maka untuk memasuki rumah itu para penjahat yang lain harus berpikir beberapa kali.

“Selain Pikatan. ternyata rumah ini berisi seekor macan betina” berkata para penjara itu didalam hatinya, sehingga mereka merasa bahwa tugas mereka menjadi semakin ringan, meskipun mereka tidak akan mengingkari tanggung jawab, bahwa mereka sudah diupah untuk melakukan pekerjaan itu.

“Kalian belum tidur?” Wiyatsih menyapa.

“Bukankah malam baru saja turun?” sahut orang yang tinggi kekurus-kurusan, “dan kau agaknya baru saja berlatih?”

“Ya”

“Seharusnya kau bersedia mengajari kami. Ternyata bahwa ilmumu jauh lebih baik dari ilmuku. Didalam keadaan yang gawat, kami memerlukan ilmu semacam ilmumu”

Wiyatsih tersenyum. Katanya, “Ilmumu sudah cukup jika kau sendiri mau mematangkannya. Kau ternyata sudah sangat malas, sudah merasa dirimu tua. Jika kau mau, kau dapat menyempurnakan ilmumu itu sendiri atau berdua bersama-sama”

Kedua penjaga itu tertawa. Ternyata Wiyatsih menebak tepat. Salah seorang berkata, “Kau benar. Kami memang merasa sudah terlalu tua untuk berlatih. Kami merasa seolah-olah apa yang ada pada kami ini sudah cukup.

“Nah, jika kalian menyadari, kenapa kalian tidak mulai memperbaiki kesalahan itu”

Kedua berpandangan sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam, orang yang bertubuh kekar menjawab, “Kami memang sudah terlalu tua”

“Macam kau” sahut Wiyatsih, “tidak ada batas umur untuk mematangkan suatu ilmu. Mungkin sekarang kau dapat duduk bersandar tiang sambil terkantuk-kantuk. Tetapi jika musim kemarau yang panjang itu berulang, maka pekerjaanmu akan menjadi berat kembali. Bendungan yang sedang dipersiapkan itu tentu tidak akan segera dapat mengangkat air di musim kemarau itu juga. Apalagi parit-parit masih harus digali. Nah, kau dapat membayangkan, bahwa kemarau mendatang keadaan padukuhan ini masih belum berubah. Mudah-mudahan di musim kemarau berikutnya keadaan sudah bertambah baik”

Kedua penjaga itu mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak ada penjahat yang akan berani datang kemari. Sebenarnya bukan kami berdualah yang menjaga rumah ini meskipun kami telah diupah. Tetapi kau dan Pikatan. Dan kamilah orang menerima upahnya itu”

“Ah, ada-ada saja kalian ini” sahut Wiyatsih sambil melangkah naik ke pendapa dan masuk kedalam. Namun ia masih bergumam, “Hati-hati. Jangan kau sangka bahwa di malam yang hujan berkepanjangan itu tidak ada penjahat yang berkeliaran”

Kedua penjaga itu tidak menjawab. Mereka memandang langkah Wiyatsih yang ringan masuk kedalam pringgitan.

“Gadis yang aneh” berkata salah seorang dari keduanya, “sama sekali tidak menyangka, bahwa gadis itu mampu berkelahi melawan penjahat yang paling garang”

“Mungkin dunia ini sudah hampir terbalik. Kita, laki-laki yang merantau sejak muda sama sekali tidak mampu menandingi seorang gadis yang baru kemarin belajar ilmu kanuragan”

“Apa kau tahu pasti, kapan ia mulai?”

Kawannya menggeleng.

“Nah, siapa tahu, sejak bayi ia sudah belajar diluar pengetahuan kita”

Yang lain menarik nafas. Tetapi ia kembali bersandar tiang sambil terkantuk-kantuk. Ketika ia memandang ke langit, dilihatnya awan yang hitam tebal bergayutan menutupi bintang-bintang.

“Hujan akan turun” desis yang tinggi kekurus-kurusan.

“Ya. Anginnya sudah terasa mengandung air. Dinginnya bukan main”

“Tetapi hati kita tidak sedingin saat-saat yang menegangkan itu. Justru ketika anak-anak muda memberitahukan kepada kita, bahwa para penjahat akan datang ke rumah ini”

Kawannya tidak menyahut Bahkan matanya sudah terpejam, Katanya, “Aku akan tidur dahulu”

“Jangan disitu. Agak ke tengah. Jika hujan lebat, apalagi ada angin, kau akan basah kuyup”

Keduanya pun kemudian bergeser ke tengah. Halaman rumah itu tampaknya menjadi semakin gelap meskipun obor di regol halaman masih tetap menyala dan lampu minyak di serambi pendapa itupun masih memancar.

Sambil berkerudung kain panjangnya, maka seorang dari para penjaga itupun mencoba untuk tidur. Senjatanya terletak dekat di ujung tangannya. Sedang penjaga yang lain duduk bersila sambil menimang-nimang senjatanya. Dari mulutnya terdengar suara-nya lambat sekali, melagukan tembang Durma yang garang.

Ketika petir meledak di langit, Wiyatsih yang masih duduk di ruang dalam menjadi berdebar-debar. Jika hujan turun, maka Kiai Pucang Tunggal yang ada di kebun belakang pasti akan kehujanan. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena Kiai Pucang Tunggal sendiri tidak bersedia untuk diketahui oleh orang lain.

“Ia akan berteduh di teritisan” Wiyatsih mencoba menenteramkan hatinya sendiri.

Tetapi ternyata hujan tidak segera turun. Bahkan sampai pada saatnya Wiyatsih berbaring dipembaringan, masih belum terdengar titik air diatas atap dan dedaunan.

Namun Wiyatsih tidak juga dapat tidur. Dengan demikian ia masih dapat mendengar desir langkah kaki kakaknya. Meskipun setiap kali suara guruh menggelegar, namun Pikatan keluar juga dari rumahnya untuk pergi ke tempat latihannya.

Kali ini Pikatan tidak pergi seorang diri. Beberapa langkah dibelakangnya, Kiai Pucang Tunggal mengikutinya dengan hati-hati. Bukan saja karena ia tidak mau diketahui oleh Pikatan, tetapi mungkin juga Puranti mengikuti anak muda itu pula.

Namun ternyata bahwa Puranti tidak ada di sekitar tempat itu sehingga Kiai Pucang Tunggal pun kemudian mengikutinya seorang diri dengan tenang.

Hujan yang lebat seperti dicurahkan dari langit ketika Pikatan sampai ditempat latihannya, Tetapi agaknya hujan itu sama sekali tidak mengganggunya. Bahkan ia acuh tidak acuh saja terhadap air yang menimpa seluruh tubuhnya sehingga menjadi basah kuyup

“Tekadnya memang besar sekali” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hatinya.

Sejenak kemudian Kiai Pucang Tunggal sudah menyaksikan bagaimana Pikatan melatih diri. Dengan segenap kemauan dan kekuatan ia mencoba meningkatkan bukan saja kecepatan bergerak, tetapi juga kekuatannya. Bahkan kemudian sesuatu yang selama ini belum dilakukannya dengan sebaik-baiknya, adalah kecepatan bergerak sambil menggenggam senjata

Saat itu Pikatan ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa tangan kirinya masih juga mampu bergerak secepat tangan kanannya sehingga cacat ditangan kanannya itu tidak akan mengurangi kemampuannya bertempur dengan senjata.

Demikianlah, didalam hujan yang lebat, Pikatan berloncat-loncatan sambil mengayun-ayunkan sebilah pedang yang panjang. Kecepatannya menggerakkan pedang dan kekuatan yang terungkap pada tata geraknya ternyata telah mendebarkan dada kiai Pucang Tunggal. Katanya didalam hati, “Pikatan pun mengalami kemajuan pesat sekali. Ilmunya menjadi semakin mantap. Meskipun kini ia hanya bertangan kiri, tetapi tangan kirinya benar-benar tidak kalah cekatan dengan tangan kanannya didalam olah senjata dan bahkan kekuatan yang tersimpan pada tangan kiri itu, meskipun pada dasarnya Pikatan tidak kidal.
Namun dalam pada itu, Kiai Pucang Tunggal Sadar, bahwa ia tidak sedang mencari Pikatan. Yang penting baginya adalah menemukan Puranti.

Karena itu, maka dilepaskannya Pikatan sejenak. Setapak demi setapak Kiai Pucang Tunggal bergeser. Namun sampai hampir berkeliling tempat latihan itu, Kiai Pucang Tunggal tidak menemukan seorang pun. Juga tidak menemukan Puranti

Dimalam kedua Kiai Pucang Tunggal tidak perlu lagi pergi ke rumah Pikatan. Ia sudah tahu dimana anak muda itu berlatih. Karena itu, ia pun langsung saja pergi ke tempat latihan itu dan mencoba menemukan Puranti.

Tetapi dimalam kedua itupun ia tidak menemukan Puranti. Namun Kiai Pucang Tunggal adalah seseorang yang sabar dan tidak segera menjadi putus asa. Ia masih menunggu dengan tekunnya.

Tiba-tiba didalam kilatan cahaya langit, Kiai Pucang Tunggal melihat sesuatu yang bergerak-gerak dibalik sebuah batu yang besar. Dengan hati yang berdebar-debar ia mengikuti bayangan itu dengan saksama. Dengan kemampuannya menahan nafas dan menghindari desir kaki di dedaunan, maka akhirnya Kiai Pucang Tunggal dapat mendekatinya.

Ternyata bayangan itu adalah orang yang dicarinya. Puranti.

Namun demikian Kiai Pucang Tunggal tidak segera menegurnya. Ia ingin melihat, apa saja yang akan dilakukan oleh Puranti selanjutnya, jika ia sudah melihat kemajuan yang dapat dicapai oleh Pikatan.

Sejenak kemudian, seperti biasanya Pikatan pun mulai berlatih. Dengan saksama Puranti mengikuti setiap gerak tangan dan kaki Pikatan, bahkan kemudian senjata yang ada ditangan kirinya. Sebilah pedang yang panjang.

Dengan garangnya Pikatan berloncat-loncatan sambil mengayun-ayunkan pedangnya yang berat dengan tangan kirinya. Namun agaknya tangan kiri Pikatan itu sama sekali tidak canggung lagi.

Pedangnya berputar cepat sekali, kemudian mematuk dan menyambar mendatar cepat sekali.

Terdengar Puranti menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba gadis itu menggeram. Ia tidak menunggu Pikatan selesai. Sambil mengendap ia meninggalkan tempat itu dan dengan tergesa-gesa seakan-akan sedang diikuti oleh seseorang ia pergi ke tempat yang tersembunyi.

Namun tanpa diketahuinya, ayahnya memang sedang mengikutinya. Dengan hati yang berdebar-debar Kiai Pucang Tunggal melihat sesuatu yang berkembang di hati anak gadisnya, sesuatu yang tidak diinginkannya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Pucang Tunggal pun menyaksikan Puranti turun kedalam sebuah tebing yang agak curam, hampir seperti tempat yang dipergunakan oleh Pikatan. Dengan gerak yang menghentak-hentak Puranti menarik pedangnya. Tetapi pedang ini berbeda dengan pedang Pikatan yang besar dan panjang”

Untuk sesaat lamanya Puranti memandangi pedangnya. Kemudian dipandanginya beberapa batang perdu yang tumbuh di lereng tebing itu. Dengan tergesa-gesa ia menyentuh ujung-ujung perdu itu seperti diburu oleh waktu, dengan ujung pedangnya. Puranti telah menentukan sendiri sasaran pedangnya didalam latihan yang akan dilakukan.

“Tentu Puranti pulalah yang mengajar Wiyatsih membuat sasaran tertentu didalam latihannya” berkata Ki Pucang Tunggal, tetapi hal itu adalah wajar sekali, karena didalam latihan-latihan yang diberikannya kepada Puranti yang mengutamakan kecepatan dan kelincahan bergerak ia kadang-kadang memberikan pula sasaran diam. Dan di kesempatan lain, Kiai Pucang Tunggal memberikan sasaran bergerak dengan mengikat benda-benda lunak pada ujung sebuah tali yang digerakkannya. Hanya dalam waktu tertentu saja Puranti dibawanya berlatih dalam perkelahian yang seperti sebenarnya, meskipun tidak mempergunakan pedang yang benar-benar tajam.

Dan sejenak kemudian, Kiai Pucang Tunggal pun segera melihat Puranti berlatih mengayun-ayunkan pedangnya. Sambil berloncatan, maka ujung pedang Puranti yang menyambar-nyambar itu telah menebas ujung-ujung perdu yang telah ditentukannya dengan kecepatan yang luar biasa, sehingga dalam sekejap, pohon-pohon perdu yang dikehendakinya itu telah terpotong sesuai dengan keinginannya.

“Tetapi Puranti tidak segera berhenti. Ia masih berloncatan sambil mengayun-ayunkan pedangnya. Ternyata ia masih melakukan latihan serupa. Pohon-pohon perdu itu dipotongnya selapis demi selapis dalam gerak yang terlampau cepat.

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas dalam-dalam. Ternyata, anaknya telah mencapai puncak kemampuan menggerakkan senjata seperti yang diajarkannya. Bahkan didalam keasyikannya, Puranti telah menunjukkan beberapa unsur gerak yang tumbuh didalam perkembangan ilmunya.

“Pikiran anak itu benar-benar hidup” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hati, “ia bukan sekedar menirukan gerak, tetapi ia telah menghayatinya sehingga unsur gerak yang ada padanya telah berkembang pesat”

Dalam penilikannya itu, ia masih tetap melihat jarak antara Pikatan dan anak gadisnya. Meskipun Pikatan maju pesat, namun Puranti pun bergerak maju pula, sehingga Pikatan masih belum sempat menyusulnya.

Untuk beberapa saat lamanya. Kiai Pucang Tunggal masih tetap menunggui Puranti yang sedang sibuk berlatih. Bahkan sejenak kemudian, setelah ia merasa cukup mempergunakan pedangnya, maka pedang itu pun segera disarungkannya. Namun ia tidak segera berhenti. Ia melanjutkan latihannya untuk menempa kemampuan tangan dan kakinya. Bahkan, setelah keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, maka latihannya pun menjadi semakin keras, sehingga akhirnya, Puranti tidak saja mempergunakan tenaga wajarnya, tetapi kemudian dilepaskan-nya tenaga cadangannya. Dihantamnya batu-batu karang di tebing yang curam itu sehingga berguguran.

Kiai Pucang Tunggal menarik nafas sekali lagi, seakan-akan ia ingin menghirup seluruh udara malam yang dingin itu. Kini ia yakin apa yang diduganya semula. Puranti yang menyaksikan perkembangan ilmu Pikatan yang maju pesat, ternyata justru telah tersinggung dan dengan gairah yang membara di hatinya, ia telah menyempurnakan ilmunya sendiri.

“Ada untungnya” berkata Kiai Pucang Tunggal didalam hatinya, “tetapi ada juga ruginya. Jika Puranti masih tetap pada pendiriannya bahwa ia harus melampaui Pikatan, maka aku rasa keduanya tidak akan bertemu. Masing-masing akan tetap mempertahankan harga dirinya tanpa ada yang mau mengalah. Puranti yang lebih tua dalam perguruan Pucang Tunggal merasa, bahwa seharusnya ia lebih baik dari Pikatan. Tetapi Pikatan yang merasa dirinya seorang laki-laki, tidak akan mau mengaku kelebihan Puranti didalam olah kanuragan”

Sejenak Kiai Pucang Tunggal merenung. Namun ia tidak segera menemukan jawabnya, sehingga karena itu, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku tidak akan segera menemui Puranti. Biarlah ia menempa dirinya. Mudah-mudahan pada suatu saat aku menemukan jalan untuk mempertemukan keduanya. Jika tidak maka keadaannya akan justru menjadi semakin gawat. Apabila mereka sampai ke puncak gejolak perasaan masing-masing, maka akan mungkin sekali keduanya berhadapan sebagai lawan tanpa sebab, justru hanya karena masing-masing mempertahankan harga dirinya”

Dengan demikian, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Pucang Tunggal untuk sementara hanyalah sekedar mengawasi agar kedua anak-anak muda yang dibakar oleh perasaan masing-masing itu tidak bertemu dalam benturan ilmu yang berbahaya, Puranti memiliki kelebihan didalam ilmu kanuragan, hampir dalam segala seginya. Tetapi Pikatan adalah laki-laki yang akan menebus setiap kekalahan dan harga dirinya dengan nilai yang paling berharga pada dirinya dan bahkan apabila perlu tentu dengan jiwanya. Dan itulah yang harus dihindarinya.

Maka dalam pada itu, untuk mengisi waktunya di setiap malam turun melewati senja, Kiai Pucang Tunggal justru menjumpai Wiyatsih di kebun belakang. Kemudian sekali-kali dibawanya Wiyatsih ke tempat lain yang sepi untuk melepaskan ketegangan yang hampir setiap saat mencengkam, maka dibawanya Wiyatsih berlatih. Ditunjukkannya beberapa unsur gerak yang baru bagi Wiyatsih, tetapi yang gerak dasarnya telah dimilikinya sehingga dengan mudah ia dapat mengikutinya.

“Kau memang memiliki kemampuan yang baik, sebaik Pikatan” berkata kiai Pucang Tunggal.

“Ah. Kiai selalu memuji” sahut Wiyatsih.

“Sadarilah. Tetapi jangan membuat kau menjadi sombong. Kesadaran itu harus kau salurkan dalam ungkapan yang baik, yang dapat mendorongmu semakin maju”

Wiyatsih menganggukkan kepalanya. Seleret warna merah membayang di pipinya.

“Kau ternyata memiliki kemampuan lahir dan batin. Kemampuan yang dapat saling mengisi. Didalam olah kanuragan kau maju pesat, tetapi disamping itu, kaulah yang sanggup berdiri dimuka dari anak-anak muda Sambi Sari. Tanpa kemampuan dan ketahanan batin, kau tidak akan sanggup melakukannya”

Bersambung ke bagian 2

Satu Tanggapan

  1. Ditunggu lanjutannya

Tinggalkan komentar